Buku, rak dan Ayah

malam ini, rindu lama itu lindap lagi.

beberapa menit lalu saya mencoba mengganti layout sebuah account, dan tiba – tiba plilihan jatuh pada gambar perpustakaan, lebih tepatnya rak buku yang muatannya penuh. gambar itu lebih tepatnya disebut lukisan, warnanya coklat, buku – bukunya juga demikian.
————————–

———————————————————————————–

haru itu muncul lagi, kenangan lama. beberapa buku diatas meja, dengan kaca mata minusnya, selonjoran ia menikmati siang yang bagi sebagian kalangan seumur beliau kebanyakan di isi dengan tidur siang.

si kecil yang selalu iseng menghampiri beliau, menggeliat manja, mengintip bacaan beliau juga menyerakkan buku – buku di atas meja. sesekali melirik kerak buku yang penuh dengan buku – buku yang terasa asing dan sepertinya kurang menarik kala itu. maklum, si kecil yang masih balita ini lebih tertarik dengan buku – buku bergambar menarik dan berwarna – warni.

hingga akhirnya, beberapa tahun kemudian, saat si kecil tak lagi kecil, tapi tetap menjadi si kecil kesayangan sang ayah, saat usianya beranjak remaja, sosok yang mengenalkan bagaimana nikmatnya membaca, sosok yang menyediakan rak buku kaca di ruang bacanya yang sekarang disulap menjadi ruang tamu kedua-mengingat lebih efektifnya ruang baca merangkap ruang keluarga- akhirnya pulang kembali ke muasal.

tak harta melimpah ditinggalkan untuk si kecil ataupun kakak – kakaknya, tapi rak buku itu menjadi kenangan yang tak terlupakan. “ada beberapa buku bagus yang raib, entah siapa peminjamnya, ibu lupa” ucap sang ibu sambil menerobos kaca penutup Rak buku.

“kalian beruntung, ayah kalian meninggalkan banyak ilmu untuk kalian” suatu ketika seseorang itu berujar. si bungsu diam, merenung.

ya. beliau pergi, tapi tak pergi nyata. ada kenangan dan ilmu yang tak terputus, ada warisan yang lebih mahal dari tanah melimpah, rumah gedung, atau perhiasan mewah. buku – buku itu, insyaAllah akan terus mengalirkan ilmu, meski jumlahnya tak seberapa.

lalu ia, sang ayah meninggalkan jejak petualangannya melahap buku pada si bungsu. mencetak jejak itu tepat di diri si bungsu, tak hanya si bungsu sebenarnya, tapi yang teralu tercopy karakternya adalah di diri si bungsu. si bungsu pun terlangkah mengikuti jejaknya, melahap bacaan tanpa syarat, dengan sinar benderang kah, atau dengan pencahayaan lilin sekalipun.

semua kenikmatan itu sungguh menerbitkan kenangan akan sosok yang telah menurunkan tabiat yang begitu membahagiakan… ya, buku adalah sahabat yang keren, sahabat yang selalu membuka cakrawala fikiran, sahabat yang merubuhkan tanda – tanda tanya, dan semua kegilaan melahap lembar – lembar darinya baru si bungsu sadari ternyata tercetak mengikuti apa yang ada di diri sang ayah.

si bungsu pun menyadari ambisinya memiliki perpustakaan pribadi bahkan perpustakaan untuk masyarakat di tempat tinggalnya ternyata turun dari pola fikiran sang ayah…
ya..si bungsu kian rindu…meski rindu itu hanya sebatas rindu, tak mungkin bersua..karena alam dia dan sang ayah sudah berbeda, berharap wisuda dihadiri sang ayah, tapi harap tetap harap..hanya harap ini yang tak mungkin dipinta kepada Sang Pemilik agar nyata terjadi..

menggantung harap agar setelah tamat benar – benar memiliki perpustakaan pribadi dengan koleksi yang lebih..lebih..dan lebih banyak lagi—-> inilah alasan si bungsu menjadi setengah gila jika bazar buku terdengar kabarnya di telinga.

*saat rindu itu hadir, saat kenangan itu memaksa bulir bening melewati kelopak mata*

Banda Aceh, 16 mei 2010

31 responses to “Buku, rak dan Ayah

  1. kunjungan pertama ….
    titip rindunya buat sanga ayah …..
    Salam kenal sob …..

  2. Lia jadi terharu bacanya T_T
    Salam untuk si bungsu…
    sang Ayah pasti sangat bangga melihatnya dari SANA…

  3. Terharu juga ya tulisannya.
    Salam kenal aja bro.

  4. Beruntung ya tumbuh di keluarga yang sejak dini sudah banyak kenalan sama buku. Keluarga saya belum menganggap buku penting. Tapi mereka hanya beli buku buku sekolah untuk saya. Terimakasih. Karena pencarian nafkah keluarga saya memang tergolong tidak mudah

    Salam

  5. saya juga suka membaca buku, meskipun hanya novel… sayangnya saya ga dapat warisan buku

  6. kenangan yg indah memang sulit terlupa..aku juga sgt dekat dg ayah, dan yg ditinggalnya juga sama, ilmu…insyaalloh menjd amal jariah beliau..amiinnn

  7. si bungsu yang ditinggal pergi, akupun mengalaminya tapi tanpa setumpuk buku, namun aku tetap bangga

  8. Postingan yang indah, bukk ^^d

  9. 😀
    teurimong geunaseh buk ka trok keuno
    (^___^)

  10. Jadi sedih… hikhikhik…
    Yo’i … mewariskan ilmu itu lebih berharga dari pada mewariskan harta.

  11. Buku, harta tidak ternilai harganya; beruntung Shafira dan kakak-kakak diwariskan buku, tak akan lekang untuk selamanya.

  12. ini pengalaman pribadi kah kak…
    mengharukan sekali 😦

    si bungsunya baik yah

  13. belum ada yang baru ya

  14. uho. . uhooo―― pengen punya bapak seperti almarhum. kalo bpk aYAs mah senengnya melihara burung, paling byk burung perkutuT 😀

  15. ciluuuukkk…baaaaaaaaaaaaaaaaaaaa

Tinggalkan Balasan ke noto Batalkan balasan